bahaya rokok

May 31, 2010 at 9:41 am (Uncategorized)

KOMPAS.com — Sepertinya peringatan dalam huruf berukuran kecil yang terdapat dalam kemasan rokok (bunyinya: Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin) tidak cukup efektif membuat orang jera mengisap rokok.

Indonesia merupakan “juara” ketiga dalam hal perokok setelah China dan India. Saat ini jumlah perokok di Indonesia sekitar 60 juta orang. Menurut data Kementerian Kesehatan, hampir 2 juta anak Indonesia berusia 7-18 tahun merokok rata-rata dua batang setiap hari.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 50 juta orang meninggal dunia akibat rokok pada tahun 2000. Sekitar 50 persennya terjadi di negara berkembang. Di antara mereka yang terenggut hidupnya oleh rokok antara lain penyanyi Chrisye dan Ucok Aka.

Sebenarnya dunia telah lama tahu dampak merokok bagi kesehatan. Berbagai bukti ilmiah telah menunjukkan, segala bentuk tembakau bisa memicu masalah kesehatan sepanjang hidup manusia.

Sekitar tahun 600, filsuf China bernama Fang Yizhi mulai menyebutkan kebiasaan merokok dapat merusak paru. Tahun 1950 diterbitkan dua publikasi utama tentang hasil penelitian dampak buruk merokok bagi kesehatan dan tahun 1981 ada penelitian besar tentang dampak merokok pasif di Jepang.

Rokok bukan hanya menyebabkan kanker paru atau penyakit jantung, sejumlah penyakit lain juga muncul akibat kebiasaan merokok. Penyakit tersebut bisa muncul mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sebut saja katarak, kulit keriput, penyakit jantung, kanker, keguguran, rusaknya bentuk sperma, hingga osteoporosis.

Penting pula untuk diingat bahwa rokok mengandung zat-zat berbahaya, seperti tar, nikotin, karbon monoksida, dan bahan kimia berbahaya lainnya. Asap rokok mengandung 4.000 partikel zat kimia, 200 di antaranya mengandung racun dan 43 jenis lainnya bersifat karsinogen.

Permalink Leave a Comment

mikirin gaji bikin bete

May 31, 2010 at 9:38 am (Uncategorized)

KOMPAS.com — Tak bisa dimungkiri, terkadang timbul penasaran ingin mengetahui berapa gaji yang diterima teman atau kolega di kantor. Sayangnya, sering kali ketika rasa penasaran terjawab, yang timbul adalah panas hati, apalagi kalau ternyata gaji si A yang performanya di bawah kita ternyata bergaji lebih besar.

Dalam sebuah analisa terhadap survei yang dilakukan terhadap 19.000 orang di 24 negara Eropa diketahui, tiga perempat responden mengatakan bahwa membandingkan gaji dengan orang lain adalah yang penting. Namun, mereka juga mengakui bahwa hal itu sering mendatangkan kekecewaan.

Para peneliti dari Paris School of Economic yang melakukan analisa tersebut menyebutkan, ketika seseorang mendapati bahwa dirinya berada di level gaji lebih rendah, pada umumnya akan merasa depresi dan rendah diri. Respons tersebut muncul baik pada responden pria maupun wanita.

Yang menarik, rasa iri yang timbul ternyata lebih besar jika membandingkan dengan teman daripada ketika dengan teman sekerja. Hal ini barangkali terjadi karena ketika mengetahui gaji kolega kita lebih tinggi, muncul harapan cepat atau lambat gaji kita juga akan merangkak naik.

Kebiasaan membandingkan gaji ini rupanya lebih sering dilakukan para pekerja di negara miskin dibandingkan dengan pekerja dari negara maju. Mereka yang pendapatannya rendah juga suka membandingkan gajinya dengan orang yang lebih makmur.

“Tadinya kami mengira orang kaya akan lebih sering membandingkan gaji, tetapi ternyata justru mereka yang pendapatannya lebih rendah,” kata Profesor Andrew Clark, ketua peneliti. “Terlalu sering membandingkan gaji sebenarnya merugikan diri sendiri karena kita akan merasa bahwa dunia ini tidak adil

Permalink Leave a Comment

pesan buat para perokok

May 31, 2010 at 9:32 am (Uncategorized)

Kompas.com – Banyak orang masih beranggapan bahwa rokok hanya merusak paru-paru.  Padahal, berbagai penyakit lain mengintai para perokok, salah satunya adalah serangan jantung. Merokok merupakan faktor risiko peringkat pertama untuk penyakit kardiovaskular.

Jika Anda merokok, risiko terkena serangan jantung atau stroke menjadi dua kali lipat lebih besar dibanding dengan mereka yang bukan perokok. “Rokok merupakan salah satu faktor risiko serangan jantung, selain faktor risiko lain seperti hipertensi, kolesterol, dan gula darah tidak terkontrol,” kata dr.Aulia Sani, SpJP (K), ahli jantung dan pembuluh darah dari RS.Harapan Kita, Jakarta.

Dalam jangka panjang, rokok akan menganggu proses metabolisme kolesterol sehingga pada orang yang merokok ditemukan kadar lemak jahatnya (LDL) tinggi. Pada akhirnya hal ini akan menyebabkan penyempitan arteri. Pembuluh arteri para perokok mempunyai lebih banyak timbunan lemak (plak) dibanding dengan yang bukan perokok.

Efek penimbunan lemak tersebut diperparah dengan naiknya tekanan darah sebagai efek buruk nikotin dan karbonmonoksida, yang dihirup dari asap rokok. Dengan merokok, kelenjar adrenalin akan terangsang untuk mengeluarkan hormon yang sesaat akan meningkatkan tekanan darah dan membuat jantung bekerja lebih keras. Selain itu, merokok menurunkan jumlah oksigen yang dipasok ke jantung.

“Makin awal menjadi perokok, makin cepat seseorang mengalami kelainan jantung. Akibatnya di usia produktif ia sudah terkena berbagai penyakit,” papar dr.Aulia. Oleh sebab itu, pria berusia di atas 30 tahun, apalagi ia seorang perokok, disarankan untuk memeriksakan kondisi jantungnya. “Penyakit jantung itu baru muncul kalau penyakitnya cukup berat, misalnya penyempitan sudah 70 persen. Sebelumnya tidak akan terasa gejala apa pun,” ujarnya.

Cepat lambatnya pengaruh rokok bagi kesehatan sangat tergantung pada kondisi individu. “Memang tergantung pada kerentanan tubuh seseorang dan jumlah rokok yang diisap. Tapi kita tidak pernah tahu bagaimana daya tahan tubuh kita, lagipula secara statistik pasien penyakit jantung sebagian besar adalah perokok

Permalink Leave a Comment

sekolah makin ribet z sich

May 31, 2010 at 9:23 am (Uncategorized)

JAKARTA, KOMPAS.com – Dibentuknya program Rintisan Seklah Bertaraf Internasional (RSBI) semakin lama semakin menajamkan gap antara si kaya dan miskin di sekolah negeri yang merupakan sekolah milik negara. Jurang antara keduanya semakin dalam menganga.
Dengan RSBI ini sekolah tidak lagi menjadi tempat akulturasi si kaya dan miskin, sehingga kita kembali ke zaman penjajahan dulu, terkastanisasi.
— Ade Irawan

Demikian diungkapkan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Bidang Pendidikan Ade Irawan kepada Kompas.com di Jakarta, Senin (31/5/2010). Padahal, sebetulnya, dari sisi akademis keberadaan RSBI dan sekolah negeri yang non-RSBI tidak jauh berbeda, kecuali soal fasilitas dan dukungan keuangan saja.

“Dengan adanya RSBI ini sekolah tidak lagi menjadi tempat akulturasi si kaya dan miskin, sehingga kita kembali ke zaman penjajahan dulu, yaitu saat dunia pendidikan kita dibuat terkastanisasi

Permalink Leave a Comment

Resensi Film : Sherlock Holmes

May 30, 2010 at 9:24 am (Uncategorized)


Resensi Film :

SHERLOCK HOLMES

“Tak Ada Misteri Yang Tak Bisa Diungkap””

Oleh : J. Haryadi

Jenis Film : Drama/adventure

Produser : Joel Silver, Susan Downey, Lionel Wigram
Produksi : Warner Bros. Pictures
Homepage : http://sherlock-holmes-movie.warnerbros.com/

Durasi : 139 menit
Pemain : Robert Downey Jr, Jude Law, Rachel Mcadams, Mark Strong, William Hope, Hans Matheson
Sutradara : Guy Ritchie
Penulis : Michael Robert Johnson, Anthony Peckham
ekarang kita bisa melihat aksi terbaru dari tokoh terkenal karya Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes yang berkisah tentang petualangan terbaru Holmes (Robert Downey Jr.) dan mitra setianya Watson (Jude Law).

Tentu kita tak perlu ragu atas kepiawaian Sherlock Holmes sebagai seorang penyidik yang handal. Rasanya tak ada satu kasuspun yang tak dapat diselesaikannya. Tentu ini tak terlepas dari kesabaran, kecerdasan dan kecerdikannya dalam memecahkan berbagai kasus pelik sekalipun. Sherlock dan sahabatnya, Dr. John Watson adalah pasangan yang solid dalam bahu membahu membasmi kejahatan.
Sebagai penyidik profesional, pekerjaan detektif Inggris ini sangat membantu sekali pihak kepolisian termasuk ketika Sherlock dan sahabatnya Watson berhasil membongkar kejahatan penyembah setan bernama Lord Blackwood (Mark Strong) dan menggiringya ke tiang gantungan. Kekalahan penjahat kelas kakap ini menimbulkan dendam yang membara, Lord Blackwood tak bisa menerima kekalahannya dan ketika menjelang hari kematiannya ia bersumpah akan membalas dendam pada Sherlock Holmes.

Tak berapa lama kemudian, sebuah kasus kejahatan kembali mengharuskan Sherlock Holmes dan Dr John Watson turun tangan. Serangkaian tindak kejahatan ini dilakukan bukan oleh sembarang orang. Bila Sherlock dan Watson gagal, maka seluruh negeri Inggris yang jadi taruhannya. Sherlock menduga semua itu ada hubungannya dengan Lord Blackwood yang telah meninggal di tiang gantungan.
Beberapa saat kemudian, sebuah kasus kejahatan kembali terjadi yang mengharuskan Sherlock Holmes dan Dr John Watson turun tangan. Kejahatan demi kejahatan pun berlangsung secara sporadis. Serangkaian tindak kejahatan ini tentu bukan dilakukan oleh amatiran melainkan oleh pelaku kejahatan profesional. Andai saja Sherlock dan Watson gagal mengatasinya, maka akan berdampak serius bagi seluruh Inggris Raya. Sherlock danpartnernya mencium dugaan bahwa semua kejahatan yang terjadi selama ini tak terlepas dari ulah Lord Blackwood yang telah meninggal di tiang gantungan.
Film berurasi 139 menit ini penuh dengan ketegangan, namun sarat juga dengan humor segar yang membuat urat syaraf kita menjadi kendur kembali. Jadi film ini tidak murni film serius yang mengharuskan kita mengerutkan dahi dan menegangkan urat syaraf sepanjang waktu. Untuk hiburan, film ini sangat menarik untuk ditonton bersama orang terdekat.

Kalau saya boleh menilai, dari skala 1-10, maka film ini menurut saya berada di angka 8. Jadi Anda pantas untuk menontonnya sambil mengunyah makanan ringan. Dan bersiapkan untuk menarik napas saat ketegangan menerpa Anda, tapi persiapkan juga senyuman jika tiba-tiba ada kejadian lucu yang tidak terduga.

Permalink Leave a Comment

Bingkai

May 30, 2010 at 9:18 am (Uncategorized)

UNDANGAN dari Susan kuterima di kantor menjelang pukul tiga, ketika aku keluar dari ruang rapat. Rencana menyeduh kopi untuk mengusir kantuk segera terlupakan. Perhatianku tersita pada amplop yang didesain sangat bagus.

Saat kubuka sampul plastiknya, telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat telepon tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan art-carton yang dicetak dengan spot ultra violet pada tulisan “Bingkai”.

“Selamat siang dengan Dudi, Auto Suryatama,” sambutku automatically.
“Ahai, tumben kamu ada di tempat!” Seru suara dari seberang.

“Maaf, siapakah ini?”
“Susan! Kamu lupa suaraku? Padahal baru dua bulan yang lalu kita bertemu. Tak hanya bertemu, karena sepanjang dua malam kita bersama-sama.” Ada nada gemas yang merasuk ke telingaku. “Sorry, aku telepon ke kantor. Hp-mu tidak aktif.”

“Astaga!” Aku tertawa dan meminta maaf. Bukan tidak aktif, lebih tepat: nomornya berbeda. “Aku baru saja menerima sebuah undangan, jadi konsentrasiku bercabang. Tampaknya ini undangan darimu! Jadi rupanya kamu serius dengan rencana itu?”

“Tentu! Kenapa tidak? Kamu pasti ingat cita-citaku sejak SMA. Sudah sejak lama aku bermimpi bisa tinggal di Ubud. Tapi tidak mungkin aku terus-terusan berlibur membuang uang di sana. Jadi kuputuskan untuk mendapatkan kepuasan batin sekaligus finansial…”

“Aku harus bertepuk tangan untuk kegigihanmu. Hebat!”
“Ini juga karena ada bara cinta yang terus-menerus membakar.”

Aku terkesiap mendengarnya.
“Cintamu, Dudi!” sambung Susan.

Entahlah: seharusnya aku melonjak gembira atau terkesiap waspada mendengar ucapannya yang demikian mantap? Tentu agak mengherankan jika seorang gadis Solo memekikkan kata itu, bukan membisikkan, yang mudah-mudahan tidak sedang antre di depan kasir supermarket.

“Dudi, kenapa kamu diam saja?”
“Oh, sorry! Sebenarnya aku mau melonjak-lonjak, tapi tentu salah tempat. Di depan mejaku sudah ada yang menunggu, mau membicarakan pekerjaan…”
“Oke, Sayang. Aku akan meneleponmu lagi nanti. After office hour, ya!”

Gagang telepon masih di telinga, menunggu Susan memutuskan hubungan. Bahkan setelah hubungan telepon terputus, seperti masih kudengar nada gembira Susan di telinga. Rembes ke dalam hati. Aku menghela napas seperti keluar dari ruang yang pengap, dan kusandarkan punggungku ke kursi yang lentur. Tak ada siapa-siapa di depanku. Jadi, aku tadi berdusta. Maafkan aku, Susan. Ternyata aku telah banyak berdusta. Tapi, percayalah, kasih sayangku kepadamu begitu jujur.
***
SEINGATKU tadi Lanfang minta dibawakan kue, karena malam ini sepupunya akan datang. Sambil meluncur pulang aku merencanakan singgah di sebuah bakery. Ada toko kue langganan sebenarnya, tapi di tengah perjalanan aku terpikat pada kerumunan yang mengundang selera untuk mampir. Selintas kulihat, di kiri dan kanan tempat ramai itu juga ada kafe dan kedai roti. Jadi tak terlampau salah jika aku sejenak berhenti dan mencari tempat parkir. Untung Swift yang kukendarai bukan tipe mobil besar, sehingga mudah mendapatkan tempat.

Rupanya sedang berlangsung seremoni pembukaan sebuah galeri, yang ditandai dengan pameran karya para pelukis muda Surabaya. Kulihat sepintas, ada Joko Pekik di ruang benderang itu: ikut berpameran atau hanya diminta pidato? Entahlah! Yang terbayang olehku adalah peristiwa serupa, yang akan berlangsung minggu depan di Ubud. Dan di tengah lingkaran para tamu, kuangankan si anggun Susan, dengan rambut dibiarkan terurai, bak burung merak yang tersenyum lebar memperkenalkan galerinya. Apa namanya tadi? Bingkai!

Aku turun dari mobil, melenggang masuk dalam kerumunan. Siapa pemilik galeri ini? Kalau Lanfang tahu, tentu ingin juga “cuci mata” di sini, apalagi dia sedang keranjingan mengapresiasi seni lukis, gara-gara pernah diminta oleh majalah untuk menulis liputan pameran di Balai Pemuda. Waktu itu dia mengeluh, karena tak tahu harus mulai dari mana untuk menilai lukisan.

“Aku iki isane nulis cerpen, lha kok dikongkon gawe resensi lukisan, yok opo sih?!” Ya. Aku ini bisanya cuma menulis cerpen, kenapa disuruh membuat apresiasi lukisan, bagaimana sih?!

Aku nyaris terpingkal melihat dia mencak-mencak. Tapi rasa ingin tahu dan semangat belajarnya cukup tinggi, sehingga waktu itu, selang sehari dia bisa bertemu dengan beberapa pelukis. Bahkan hari berikutnya dia berhasil membuat janji dengan seorang kurator untuk berbincang-bincang. Seharusnya kini ia berterima kasih kepada majalah wanita di Jakarta yang pernah memintanya untuk melakukan itu. Karena sekarang pikirannya lebih sensitif terhadap seni lukis dan grafis.

Sepuluh menit kuhabiskan waktu di galeri yang berinterior minimalis. Meskipun tampaknya tidak perlu menunjukkan undangan, tapi aku tentu bukan tamu yang dimaksud. Selanjutnya aku masuk ke kedai roti di sisi kanan, dan memenuhi pesanan Lanfang.

Sepanjang sisa jalan pulang, yang kupikirkan adalah cara pergi ke Bali. Meskipun Surabaya tak terlampau jauh dari Bali, rencana ke sana di luar tugas kantor tentu akan memancing keinginan Lanfang untuk ikut. Itu tak boleh terjadi! Tidak mungkin mempertemukan dua perempuan yang kusayang itu dalam satu ruang dan waktu. Bukan khawatir akan menjadi gagasan buruk sebuah novel bagi Lanfang, tetapi pasti menyebabkan tiupan badai yang kemudian merubuhkan perkawinan.

Jadi, mesti ada perjalanan dinas ke Bali! Barangkali, agar tidak terlampau mencurigakan, isu itu harus kuembuskan ke telinga Lanfang sejak dini. Nanti malam, sebelum bercinta. Dengan demikian, tidak terkesan sebagai kepergian mendadak. Tapi… astaga, bukankah benak perempuan sering dihuni oleh akal yang fantastik? Bisa jadi, karena waktunya masih lama, Lanfang membongkar tabungan dan berinisiatif untuk ikut. Dengan cara itu, biaya penginapannya gratis, bukan?

Keringat mengembun di keningku. Tiba-tiba pendingin udara dalam mobil terasa tak sesejuk biasanya. Mungkin sebaiknya kusampaikan sehari menjelang keberangkatan. Sambil pura-pura mengeluh: kenapa perusahaan tidak pernah mempertimbangkan karyawan, seenaknya saja menugaskan keluar kota tanpa perencanaan yang matang. Aha, aku tersenyum membayangkan reaksi Lanfang, yang akan menghibur dengan: “Ya sudahlah, namanya juga tugas. Tentu ada hal yang bersifat urgent di sana.” Seraya mengelus pipiku. Dan aku akan memeluknya dengan manja seperti bayi.

Tapi tarikan pipiku berubah. Senyumku beralih rasa cemas. Bagaimana jika Lanfang justru menyikapi dengan kalimat seperti ini: “Ya sudah, biar tidak suntuk di sana, aku ikut menemani. Malamnya kan bisa jalan-jalan ke kafe di Legian atau Kuta.”

Belokan terakhir menjelang tiba di rumah mendadak terasa tidak nyaman. Padahal tak ada “polisi tidur” di situ. Tapi aku berharap jarak yang kutempuh masih panjang dan perlu beberapa lampu merah. Agar sempat mengatur strategi yang paling masuk akal. Namun pikiran itu tercerabut sewaktu telepon selularku bergetar. Susan!

“Hai, aku lupa meneleponmu! Tadi ada kawan yang tanya ini-itu soal acara di Ubud. Biar murah aku menggunakan event organizer milik teman SMP-ku.”

“O, no problem. Kebetulan aku sudah di jalan raya.”
“Ya sudah, aku paling benci melihat orang mengemudi sambil telepon. Sampai besok, ya. Mmmuah!”

Rasanya pipiku jadi basah oleh sentuhan bibirnya. Kuembuskan napas keras-keras dan mengharap rasa nyaman masuk ke dalam hati. Pagar rumah sudah di depan mata. Langit mulai gelap, lampu-lampu teras di kompleks perumahan sudah menyala. Dan seperti biasa, pembantu segera menarik-geser gerbang besi yang warnanya sudah mulai pudar. Aku memarkir mobil ke carport.

“Ingat pesananku?” Lanfang menyambut di pintu.
“Tentu, Cantik.” Kuangkat tinggi-tinggi oleh-oleh titipannya.

“Terima kasih.” Dipeluknya aku, meskipun aroma tubuhku tak sesegar tadi pagi. Lalu jemarinya membuka dasi dari leherku. Mudah-mudahan itu bukan caranya mencari harum parfum lain yang mungkin menempel di bajuku. Mudah-mudahan.

Yang tak ingin terjadi adalah: Lanfang menemukan undangan Susan. Aku mesti menyimpannya di tempat yang jauh dari jangkauan Lanfang.
***
AKU akan datang sehari sebelum grand opening Galeri Bingkai, yang ternyata letaknya tak jauh dari Galeri Rudana. Tempat yang sungguh rupawan dan sesuai dengan selera Susan. Dia seorang pemilih yang baik. Dia pula yang memilihkan hotel ketika aku bertugas ke Solo.

“Kamu harus menginap di Lor In,” usulnya. Karena tempat itu memiliki banyak taman yang khas gaya Bali. Walaupun, ketika sudah melebur di kamar tidur yang luas, nyaris tak berbeda dengan hotel lain. Ingatanku justru selalu tersangkut pada rambut Susan yang berulang kali memenuhi wajahku. Biasanya kesibukan yang membuat tubuh kami lembab itu akan berakhir dengan aroma terapi di seluruh kamar mandi. Harum cendana memenuhi bath-tub.

“Cantik, akhir-akhir ini kamu begitu sibuk.” Aku menelepon Lanfang dari kantor.
“Ya. Dalam seminggu ini aku harus sudah selesai memeriksa dan memberikan persetujuan pada calon bukuku sebelum naik cetak. Kenapa?”

“Besok aku tugas ke luar pulau. Ke Lombok, tapi mungkin singgah di kantor cabang Bali dulu. Aku belum sempat membereskan kopor, bisa minta tolong?”

“Oke, tak masalah. Kok mendadak? Berapa hari?”
“Baru kudapat surat tugasnya tadi siang. Sekarang aku harus mengambil tiket sendiri ke agen. Sekitar tiga-empat hari, tergantung bagaimana kondisi network di Lombok.”

“Yo wis, ojo bengi-bengi mulihe. Kamu perlu istirahat malam ini.”
Tentu tidak akan larut malam, karena sebenarnya tiket sudah kupegang. Tapi yang penting aku tahu, Lanfang begitu sibuk membaca ulang naskahnya yang sudah di-setting.

Rasanya tadi Lanfang mengingatkan agar aku cukup istirahat malam ini. Tetapi yang dilakukan berbeda dengan sarannya. Ia menandai halaman buku yang sedang dibaca, menyurutkan lampu kamar hingga temaram, lalu masuk ke bawah selimutku. Cumbuannya selalu dimulai dari bibir. Mungkin untuk mengingatkanku bahwa ia sesungguhnya tak hanya cerewet, tapi juga cekatan ketika pekerjaan larut malamnya dilakukan tanpa kata-kata.

Sebelum tertidur, Lanfang membiarkan wajahku menyusup ke lehernya. Ke dekat urat nadinya. Setidaknya ia tahu bahwa napasku terembus penuh cinta. Tetapi besok, begitu tiba di Denpasar, kutelepon Lanfang seperlunya, selanjutnya aku akan menggunakan nomor lain. Hanya Susan yang tahu nomor itu. Bagaimanapun, berdusta itu mendebarkan!
***
AKU memarkir mobil yang kupinjam dari kantor cabang di Bali. Senja baru saja lenyap. Kudengar musik sayup gamelan Bali. Rupanya Susan telah mengemas suasana menjadi begitu etnik. Kulihat dinding teras galeri mungil itu dibuat dengan batu paras. Lantai batu alam membuat kesan natural lebih mendalam. Cahaya lampu yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, sehingga Susan yang –seperti telah kuduga sebelumnya– anggun dengan rambut terurai dan mengenakan kain corak Bali, menoleh ke arahku. Senyumnya merekah. Aku melihat matanya berbinar.

“Oke, teman-teman, para undangan dan wartawan, kekasih yang kutunggu sudah tiba. Kita akan mulai acaranya…”
Aku agak kikuk, namun Susan meleburnya dengan pelukan yang begitu mesra. Ada beberapa bule yang hadir di sana. Justru membuat Susan tidak merasa sungkan mencium bibirku. Dan entah kenapa, para wartawan itu begitu gemar dengan hal-hal yang berlangsung sebentar tetapi berdenyar. Mereka memotret. Sejenak mataku silau.

Namun ketika pelukan Susan lepas dan aku mencoba mengitarkan pandangan, di antara pengunjung kulihat seseorang yang sangat kukenal. Mataku masih terpengaruh oleh kilat lampu blitz. Tapi tidak mungkin lupa wajah istriku.

Lanfang ada di sudut itu! Dengan sebuah kamera digital di tangannya. Wajahnya tertegun. Atau terpesona? Tapi parasnya memucat.
“Baiklah,” ujar master of ceremony. “Kita akan mendengar awal gagasan mengenai Galeri Bingkai. Silakan Susan bercerita untuk kita…”

Selanjutnya telingaku tidak menangkap kata-kata Susan, karena segera bergegas mengejar Lanfang yang beringsut begitu cepat ke arah pintu keluar. Aku mengutuk diriku yang mengganti nomor handphone. Pasti ia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin. Apakah aku juga harus mengutuk majalah yang memintanya meliput acara ini? Bukankah dia sedang sibuk dikejar batas waktu oleh penerbit bukunya?

“Lanfang!” aku memanggil.
Di luar sunyi, tapi tidak dengan degup jantungku yang gemuruh.

“Nama Bingkai kupilih karena….” Suara Susan semakin sayup. Sementara di taman yang separuh gelap itu, aku mencari degup jantung Lanfang. ***

Permalink Leave a Comment

Kain Kafan Mama Lauren Jadi Rebutan?

May 30, 2010 at 9:14 am (Uncategorized)


mama laurenkini telah tiada, namun ada kejadian menarik ketika peramal kondang ini akan dishalatkan. Salah seorang protokol yang bertugas mendoakan keberangkatan Mama Lauren dari rumahnya di Cipinang Raya 2, Jakarta Timur menuju Masjid Al-Husnah memberi pengumuman kepada para pelayat agar tidak mengambil potongan kain kafan atau kapas yang tersisa di rumah Mama Lauren.

“Mohon dengan sangat, jangan membawa potongan kain kafan, kapas, atau barang apapun dari rumah ini,” begitulah kira-kira pengumuman yang terdengar di kediaman Mama Lauren. Tak hanya kain kafan dan kapas, bunga-bunga yang ada di pemakamannya pun dilarang untuk diambil. Namun, salah seorang kerabat dekatnya membantah kalau ada pencurian barang tersebut. Ia dan keluarga hanya mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Tadi pak ustad bilang kain kafan sama bunga-bunga minta dikumpulkan lagi dan disimpan supaya tidak diambil oleh orang-orang yang menganggap bisa dijadikan jimat. Itu kan musyrik, kami antisipasi dari awal saja supaya tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan,” jelas Vita panjang lebar.

Permalink Leave a Comment

Mama Lauren Tinggalkan Warisan Buat Anak-anaknya

May 30, 2010 at 9:12 am (Uncategorized)

Mama Lauren ternyata meninggalkan wasiat paling berharga bagi keluarganya. Apa saja warisan yang ia berikan?

Ditemui secara khusus oleh tabloidnova.com di rumahnya, Cipinang Raya 2, Jakarta Timur, Rabu (20/5), Krishna Mantra Prabawa, anak kedua Mama Lauren tak menunjukkan benda atau kertas apapun yang disebut sebagai barang wasiat. Ketika ditanya apa barang warisan yang ditinggalkan, Krisna hanya tersenyum.

“Mama mengajarkan saya untuk rendah hati, jujur, jangan jadi yang khilaf, jadi orang jangan pernah berbohong dan petuah-petuah lainnya. Itulah warisan yang Mama tinggalkan buat kami,” katanya dengan mata berlinang. “Kalau saya sedang berada di tempat yang baik, jangan pernah lupa sama yang bawah,” lanjutnya.
Bungsu dari dua bersaudara ini mengatakan, warisan yang diberi Mama Lauren sangat berharga baginya dan keluarga. Pasalnya, karena warisan itulah, ia dan kakaknya tumbuh menjadi anak yang berguna.
“Perlu diingat, tidak ada benda berharga atau apapun. Warisan yang berharga adalah kata-kata bijak yang diberikan Mami. Saya berpesan, siapapun yang kenal dan tahu Mama, ikuti nasihatnya. Kita memang kehilangan mama, tapi jangan hilangkan dia di hati kita,” pesannya.

Permalink Leave a Comment

Ridho Rhoma Segera Penuhi Nazar

May 30, 2010 at 9:09 am (Uncategorized)

Ridho Rhoma tak pernah menyangka meraih salah satu nominasi di ajang SCTV Award. Namun, ketika namanya disebut sebagai salah seorang yang masuk di nominasi album pendatang baru solo, Ridho langsung bernazar.

“Waktu itu saya pernah bernazar, kalau dapat award, saya akan membentuk badan menjadi sixpect,” katanya. Putra raja dangdut Rhoma Irama itu berharap program pembentukan badannya dapat terwujud.

“Mudah-mudahan itu bisa terjadi, bagi saya itu keadaan yang sulit, sebab awalnya saya meragukan bakal menang, karena pesaingnya bagus. Makanya saya melakukan nazar, untuk lebih mensyukuri apa yang diberikan,” katanya.

Rencananya untuk melancarkan programnya itu, Ridho akan melakukan program diet dan sering berolahraga. “Jadi pengen lebih baik lagi, rencananya akan berdiet dan olahraga, mesti booking jadwal nge-gym dulu,” katanya.

Permalink Leave a Comment

5 Cara Memetakan Emosi

May 30, 2010 at 9:05 am (Uncategorized)

Kita pasti sering dihadapkan dengan situasi yang membuat emosi naik-turun, bak roller coaster. Hidup memang menawarkan berbagai variasi emosi. Mulai dari yang positif, hingga negatif. Celakanya, jika kita tidak pandai mensiasatinya, hari-hari hanya diisi dengan ”pertengkaran emosi”. Pasti melelahkan.

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk bereaksi dengan kadar emosi yang cukup? Berikut strategi yang bisa menyelamatkan kita dari naik-turunnya emosi secara ekstrim.

Let it out
Tidak ada salahnya untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan, karena emosi yang dipendam hanya akan membentuk bottled up feelings. Perasaan yang terpendam justru akan menjadi bom waktu. Tapi tidak semua orang masuk dalam tipe ekspresif, untuk itu menumpahkannya dalam bentuk tulisan adalah alternatif yang bisa dipilih.

Count to ten
Emosi memiliki power-nya sendiri. Gejalanya hanya satu, pada saat kita merasa begitu sensitif, itu artinya emosi akan menunjukkan kekuatanya. Maka disaat semua begitu mudah untuk memancing emosi, menjauhlah dan mulai berhitung hingga sepuluh. Setelah itu barulah berbicara. Berhitung hingga sepuluh, menjadi kesempatan bagi kita untuk melihat konsekuensi yang muncul dari setiap reaksi serta komentar orang sekitar.

Say when
Emosi suka menampakkan keberadaanya secara berlebihan. Jika kita memiliki tendensi untuk melakukan semuanya sendiri, waspadalah. Tidak perlu menjadi wonder woman. Maka tidak ada salahnya untuk meminta bantuan karena ini juga akan melatih kita mengorganisasi setiap ekspresi yang muncul.

Talk to your self
Emosi hadir dengan mengendap-endap. Di menit ini kita baik-baik saja dan beberapa menit kemudian, kita merasa tertarik ke dalam kepanikan. Karenanya setiap kali kita melakukan kesalahan, tidak ada salahnya untuk berbicara pada diri sendiri. Evaluasi diri menjadi bekal untuk menghadapi tantangan berikutnya.

Fuel up
Emosi tidak bermain dengan aturan yang fair. Emosi justru akan menyerang ketika kita sedang merasa terpuruk. Itu mengapa, relaksasi dan olahraga menjadi cara untuk mengisi kembali ketenangan jiwa. Alhasil, kita akan jadi lebih tenang dan bijak dalam menghadapi segala situasi. (Siagian Priska)

Permalink Leave a Comment

Next page »